Oleh : Yusril Ihza
Mahendra
AtjehUpdate.com, Sungguh
aneh Pemerintah, sudah dua kali tidak datang ke rapat pansus pembahasan RUU
Pemilu. Sebabnya konon Pemerintah ngotot agar dalam pemilihan Presiden nanti
ada ambang batas parlemen, yakni sekurang-kurang nya partai atau gabungan partai yang
punya 20% kursi di DPR atau 25% suara sah dalam Pemilu DPR yang berhak
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2019 nanti. Sementara
sikap fraksi-fraksi DPR masih beragam, baik tentang perlu tidaknya ambang batas
parlemen untuk partai atau gabungan partai dalam pencalonan Presiden, maupun angka prosentase jika mereka menerima ambang batas yang diusulkan Pemerintah.
Sikap ngotot Pemerintah
ini kini ditingkatkan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo dalam bentuk ancaman. Kalau
keinginan Pemerintah tidak dipenuhi DPR, Pemerintah akan walk out sehingga
pembahasan RUU ini gagal. Kalau gagal, kata Mendagri, tokh UU Pemilu yang lama
masih berlaku yang dulu pernah digunakan untuk penyelengaraan Pemilu 2014.
Biarlah UU Pemilu lama yang dijadikan dasar pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2019.
Masalahnya tidaklah
sederhana seperti dipikirkan Mendagri Tjahjo. UU Pemilu yang lama itu memang
masih berlaku, tapi Pemilu dalam UU lama itu masih memisahkan pelaksanaan
Pemilu antara Pileg dan Pilpres. Karena Pileg dilaksanakan lebih dulu, maka
ambang batas kursi atau perolehan suara yang diperoleh masing-masing parpol dalam
pileg dijadikan acuan untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Nah, kalau Pemilu
dilaksakanakan serentak, Pileg dan Pilpres dilaksanakan pada hari yang sama,
maka perolehan kursi partai di DPR juga belum ada. Kalau belum ada, bagaimana
caranya menentukan ambang batas 20 persen yang diinginkan Pemerintah itu?
Jelaslah bahwa dalam Pemilu serentak, membicarakan ambang batas itu tidak
relevan samasekali.
Mendagri Tjahjo mencoba
mencari jalan keluar dengan mengusulkan ambang batas yang digunakan untuk
Pilpres 2019 adalah hasil Pileg 2014. Usul ini tentu tidak beralasan. Pertama
ambang batas itu sudah digunakan dalam Pilpres yang lalu. Kedua, dalam lima
tahun, peta kekuatan politik sudah berubah, karena itulah ada pemilu yang baru
untuk menampung peta yang berubah itu.
Andaikata ambang batas
tetap digunakan dan fraksi-fraksi di DPR mengalah serta menerima keinginan Pemerintah
seperti keinginan Mendagri, inipun tetap rawan. Dalam perkiraan saya, kalau ada
yang mengajukan uji materil ke MK tentang ambang batas pencalonan Presiden,
maka kemungkinan besar MK akan membatalkan ambang batas itu. Sebab, MK
sendirilah yang memutuskan Pemilu serentak itu. Sementara logika Pemilu serentak
adalah tidak adanya ambang batas sebagaimana substansi Pasal 22 E UUD 45 yang
mengatur Pemilu.
Jadi kalau ambang batas
pencalonan Presiden masih ada dalam Pemilu serentak, maka undang-undang yang
mengaturnya jika melihat pada Putusan MK tentang Pemilu serentak adalah
inkonstitusional. Undang-undang yang inkonstitusional, jika dijadikan dasar
pelaksanaan Pilpres, akan melahirkan Presiden yang inkonstitusional juga. Ini
akan berakibat krisis legitimasi bagi Presiden yang memerintah nantinya.
Keinginan Pemerintah yang
didukung oleh fraksi PDIP, Golkar dan Nasdem agar ambang batas pencalonan
Presiden dan Wapres dengan angka 20% -
25% kursi DPR nantinya bisa melahirkan pasangan capres tunggal atau "koalisi
tunggal" terdiri atas trio partai tersebut sebagai intinya, ditambah
partai-partai lain yang ada dalam "koalisi" kabinet sekarang.
Kalaupun akan ada pasangan
lain, maka kemungkinan hanya akan ada 1 pasangan lagi. Jadi calon dalam Pilpres
2019 kemungkinan akan sama dengan calon Pilpres 2014. Perbedaan, paling-paling hanya
pada calon Wapres saja. Keadaan ini tentu tidak sehat bagi pertumbuhan
demokrasi di negara kita.
Pada hemat saya,
biarkanlah kita melaksanakan ketentuan Pasal 22E UUD 45 dengan konsisten
sebagaimana telah ditafsirkan dalam Putusan MK berkaitan dengan Pemilu serentak
yang wajib dilaksanakan dalam Pemilu 2019 nanti. Pasal 22E itu telah dengan
tegas menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum Pemilu
dilaksanakan. Pemilu yang pesertanya partai politik itu hanyalah Pemilu
Legislatif (DPR dan DPRD). Jadi partai atau gabungan partai itu mencalonkan
pasangan Presiden dan Wakil Presiden sebelum Pileg itu sendiri. Putusan MK
bunyinya juga begitu. Jelas dan terang.
Kalau Pasal 22E UUD 45 dan
Putusan MK sudah terang benderang maksudnya, janganlah Pemerintah, PDIP, Golkar
dan Nasdem serta partai lain masih sibuk saja mencari dalil-dalil untuk
membenarkan adanya ambang batas parlemen bagi parpol atau gabungan parpol dalam
mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Demokrasi itu memerlukan
jiwa besar. Jiwa besar hanya akan ada pada orang-orang besar. Sebaliknya jiwa
kerdil hanya akan ada pada orang-orang kerdil, meski secara fisik mereka besar
dan secara politis mereka berkuasa. Namun hakikatnya, mereka berjiwa kerdil dan
ingin mengerdilkan demokrasi itu sendiri...(Jakarta, 15 Juni 2017)-[Red]
0 komentar:
Post a Comment