DARI BISNIS KE PANGGUNG POLITIK

Rate this posting:
{[['']]}

Atjehupdate.com-Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)yang akan diselenggarakan pada 15 Februari 2017 ini akan menentukan siapa yang memimpin Aceh lima tahun kedepan. Pesta demokrasi ini kian meriah karena kita ditemani, tidak hanya oleh Partai Nasional (Parnas), namun juga oleh Partai Lokal (Parlok).

Tentunya kita dapat berbangga sifat bottom up ini memberi peluang dibicarakannyamasalah local ke tingkat nasional.Tantangannya adalah bagaimana menjadikan pesta demokrasi ini sebagai ajang yang damai karena Aceh sudah memasuki era damai sejak 11 tahun yang lalu.

Pada Pilkada ini Aceh akan memilih 6 Pasangan Calon (Paslon) Pemerintahan Propinsi dan 79 Paslon di 20 kabupaten/kota. 
Para paslon tidak hanya berasal dari sosok yang berlatar belakang politik namun ada juga yang berlatar belakang pengusaha. Begitulah demokrasi yang memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat di dalamnya.

Terkait dengan itu, gaya kepemimpinan figur terpilih nantinya akan sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan daerah, salah satunya kebijakan ekonomi. Para ekonom membagi dua kutub besar kebijakan yang mereka sebut dengan istilah developmental state(negara yang kuat vis a vis pebisnis yang lemah) dan regulatory state(negara yang lemah vis a vis pebisnis yang kuat). 

Atau dalam kategorisasi lainnya disebut, ekonomi liberal, dimana campur tangan pemerintah dalam dunia bisnis sangat minim, atau ekonomi intervensionis, dimana pemerintah memberikan dukungan penuh.Untuk konteks Aceh, hubungan bisnis dan politik lebih mengacu pada pola terakhiryaitu pemerintah tidak sepenuhnya turut campur dalam bisnis.

Lebih jauh, paska reformasi banyak pebisnis yang memasuki panggung politik, Hal ini menjadi indikator betapa politik dan bisnis saling berkait-kelindan
.
Di Aceh sendiri kita memiliki beberapa paslon yang berlatar belakang pengusaha atau menempati posisi strategis dalam struktur partai, sehingga timbul pertanyaan apakah mereka terpilih karena kapasitas atau karena modal finansial?

Terdapat pro-kontra dalam membaca fenomena keterlibatan pengusaha dalam dunia politik. Jusuf Kalla, walau dirinya adalah pengusaha,termasuk sosok yang dengan tegas membatasi pebisnis untuk masuk ke wilayah politik. Sementara itu,Ketua Umum APINDO, Hariyadi Sukamdani menilai pembatasan itu hanya boleh diberlakukan untuk pengusaha muda saja.

Sikap yang tegas menentang juga datang dari Ade Irawan (Koordinator ICW) yang menilai bahwa keberadaan pengusaha dalam dunia politik sangat berpotensi untuk disalahgunakan terutama untuk memperluas kepentingan bisnisnya. Dari sinilah korupsi bermula. Hal ini bisa dengan mudah kita temukan dalam parlemen di pusat dan daerah.

Hal ini menjadi penanda bahwa antara bisnis dan politik memang memiliki hubungan simbiosis mutualisme. 
Dunia bisnis butuh butuh payung politik dan politisi juga membutuhkan dukungan modalitas finansial. Ibarat dua sisi mata uang baik porpol maupun pengusaha saling berhubungan. Parpol berjalan karena dana pengusaha, dan pengusaha butuh pada akses kebijakan untuk memproteksi bisnisnya.

Hasil pencermatan empirik dari survey yang dilakukan mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UIN Ar-Raniry menunjukkan bahwa 85% responden sepakat bawah keterlibatan pengusaha dalam politik memang tidak bisa dielakkan.

Pembangunan sangat dekat dengan keterlibatan pengusaha, termasuk juga keahlian negosiasi dan pemanfaatan akses jaringan untuk kepentingan politik dan investasi. Walau ada kekhawatiran akan adanya potensi manipulasi jabatan untuk kepentigan bisnis pribadinya.

Fenomena pengusahayang beralih ke panggung politik tak bisa diredam. Hal ini lazim terlihat di era kontemporer ini, dengan sistem ekonomi yang semakin kepitalistik.
Kapitalisme inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa masyarakat mendukung hadirnya pengusaha dalam panggung politik. Namun kapitalisme tidak serta merta bias mendikte rasionalitas publik. 

Masyarakat yang semakin cerdas menuntut hadirnya pilkada yang demokratis dan tidak anarkis. Parpol dan calon kepala daerah dituntut untuk mampu menarik simpati masyarakat melalui kompetisi dan strategi politik yang sehat.

Dalam konsep marketing politik memenangkan sebuah kompetisi di butuhkan Modal. Firmanzah (2010) mengemukakanada dua modal politik yang diperlukan oleh seorang kandidat yaitu finansial dan jaringan sosial. 

Secara finansial setiap calon membutuhkan danamulai dari masa kampanye hingga proses penghitungan suara. Sementara modal sosial lebih mengedepankan akumulasi dari kredibilitas, popularitas dan jaringan yang terdapat di masyarakat.

Kombinasi dari kedua modal tersebut menjadi penentu dalam pencapaian suara. Tidak bisa dipungkiri persaingan yang ketat akan membutuhkan biaya yang besar pula. Dalam hal ini pemilik modal besar akan lebih diuntungkan. Dalam teori persaingan dijelaskan bahwa biaya intensitas persaingan berbanding lurus dengan intensitas persaingan.

Sebagai catatan penutup, perkembangan kapitalisme memungkinkan pengusaha memiliki kedua modal penting baginya untuk memasuki dunia politik didukung oleh kehadiran tekonologi informasi yang bisa dimanfaatkan untuk membentuk opini publik. 

Semua in memberi peluang bagi pengusaha untuk menghasilkan strategi yang lebih berkualitas dibandingkan dengan strategi elit parpol dalam untuk mengakumulasi suara konstituen untuk dapatmenaiki panggung politik.
 
By. Putri Aulia (Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)[RED]


Share on Google Plus

About update atjeh

Atjehupdate.com - Media Tegas Berimbang

0 komentar:

Post a Comment