Oleh : Muhammad Ichsan
AtjehUpdate.com, Dalam
menjalankan amalan-amalan ibadah di Bulan yang penuh berkah dan maghfirah ini
kita selalu senantiasa melakukan transformasi dari hal-hal yang negatif menjadi
hal yang positif, dikarenakan di bulan ini merupakan the best month bagi Ummat
Nabi Muhammad SAW untuk merubah berbagai
aspek, yang dimulai dari tingkah laku,
pemikiran dan segala tingkah buruk menjadi baik serta manusia juga harus
mengedepankan keikhlasan untuk mendapatkan nilai-nilai yang hakiki sebagai
tingkatan yang telah dimiliki oleh manusia itu sendiri.
Melihat, menyimak dan
mengivestigasi apa yang telah kita rasakan di bulan ini, menjadi daya tarik
sendiri untuk memperhatikan bagaimana seorang manusia untuk merubah pola pikir
dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang oleh ALLAH SWT.
Dalam kesempatan ini saya
ingin melihat problematika yang terjadi pada awal-awal Ramadhan di Nanggroe
yang tercinta ini yakni Aceh. Permasalahan yang terjadi di Bumoe Aceh yaitu
beberapa para pedagang yang tidak mematuhi Qanun Aceh tentang larangan dalam
berjualan di siang hari dan tanggung jawab pihak pemerintah yang berwenang
melalui lembaganya yaitu Wilayatul Hisbah yang harus menertibkan para seller
baik di warung nasi, restoran dan kedai kelontong sekalipun untuk melarang
berjualan dagangannya pada siang hari. Maka terlebih dahulu kita harus melihat
cara kerja (tanggoeng jaweub) yang diterapkan oleh Pemerintah Aceh melalui
Badan Wilayatul Hisbah kepada masyarakat di Bumi Serambi Mekkah ini.
History
of Wilayatul Hisbah
Aceh merupakan daerah yang
menerapkan Syariat Islam secara Kaffah yang telah berlangsung hampir 2 (dua)
dekade. Aceh yang ingin mengembalikan kejayaan Islam ingin mewujudkan kembali
masa keemesannya dengan mencetuskan aspek formal yang ditelah ditinjau dengan
status PERDA dan kemudian konsep tersebut diubah menjadi Qanun. Dalam konsep Qanun ini mengatur tentang pelaksanaan
Syari’at Islam yang terdapat dalam Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2000.
Kemudian PERDA Provinsi NAD nomor 33
tahun 2001 tentang susunan organisasi dan Tata Kerja Dinas Syari’at Islam dilapangan
Pemerintah Daerah membentuk badan Wilayatul Hisbah yang tata kerja dan
kewenangannya diatur oleh Gubernur Nanggre Aceh Darussalam nomor 01 tahun 2004.
Lembaga yang diperkenalkan
kepada masyarakat hingga saat ini merupakan lembaga yang populer di masa-masa
kejayaan islam sehingga istilah kata ”WH” ialah kontek yang modern yang
terdapat dalam kitab-kitab fiqh, diantaranya as-Siyasatusy Syari’yyah, al-Ahkumus
Sulthaniyyah dan an-Nuzhumul Islamiyah.
Peran
dan Kewenangan Wilayatul Hisbah
Mengenai peran dan
kewenangan Wilayatul Hisbah, Pemerintah Aceh mengharapkan keberadaan lembaga
tersebut dapat menginvestigasi dan mengawasi berbagai Pelaksanaan Syari’at
Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Terlebih pula dapat memperkuat pengawasannya
di daerah perkampungan, Tuhapeut gampong dan tokoh-tokoh muda yang disebutkan
sebagai Wilayatul Qura yang bekerja secara sukarela di tingkat gampong
masing-masing. Demikian pula, Pemerintah Aceh sangat mengharapkan lembaga ini
dapat bekerja pada tingkatan yang paling rendah hingga tingkatan yang tinggi
serta dapat berkoordinasi dengan berbagai pihak dilingkungan masyarakat
sekitarnya.
Melihat peran dan
kewenangan yang dimiliki oleh petugas WH dapat disimpulkan bahwasanya Wilayatul
Hisbah sangat berperan didalam Bulan Ramadhan karena merekalah yang bertugas
untuk mengawasi segala perbuatan yang dilanggar terdapat pada kategori Syari’at
Islam yang dilakukan oleh para masyarakat, salah satunya berdagang Nasi Bungkus
di siang hari pada Bulan Puasa.
Meukat
Bu
Istilah kata “Meukat Bu”
atau dapat diartikan dalam bahasa Indonesia yakni berdagang nasi yang telah
dimasak dan diperjualbelikan diberbagai tempat seperti restoran, warung dan
kedai-kedai kelontong. Berjualan nasi yang telah dimasak pada siang hari merupakan aktivitas sehari-hari pada 11
(sebelas) bulan dalam setahun kecuali di bulan yang penuh Rahmat yakni Bulan
Puasa Ramadhan.
Larangan berjualan nasi
pada bulan pengampungan bagi Umat manusia tersebut telah tercantum dalam Surat
AL-MAIDAH ayat 2 yang artinya “Janganlah
kalian tolong menolong dalam dosa dan maksiat.”. Untaian dari sepotong surat
dapat kita gambarkan bahwasanya meskipun seseorang tidak melakukan maksiat,
tetapi manusia tersebut tidak boleh membantu orang lain untuk berbuat maksiat
karena maksiat harus di berantas, dimusuhi dan tidak boleh dibantu.
Melalui ayat tersebut,
kita telah mengetahui bahwasanya larangan membuka usaha warung nasi dan
restoran di siang hari merupakan perbuatan maksiat di Bulan Ramadhan. Jadi,
kegiatan yang dilaksanakan oleh para pedagang warung nasi merupakan perbuatan
maksiat dalam Bulan Ramadhan dan pedagang tersebut tidak boleh membuka,
membantu bahkan memperjual dagangan nasinya kecuali pada malam hari.
Lantas, seseorang yang tidak
berpuasa pada siang hari merupakan perbuatan maksiat dan bahkan dosa besar.
Nabi Muhammad SAW pernah diperlihatkan siksaan untuk orang semacam ini yakni
“Dia digantung dengan mata kakinya (terjungkir), pipinya sobek dan mengalirkan
darah.” (HR.Ibnu Hibban, 7491 yang disahihkan oleh Al-A’dzami). Lalu, An-Nawawi
mengatakan dalam Syarh Shahih Muslim, 14/39 melalui pendapat yang benar, yang
diikuti oleh para ulam Ahli Tahqiq (peneliti) dan mayoritas ulama, yang menyatakan bahwa orang kafir mendapatkan
beban dengan syari’at islam. Sehingga mereka juga diharamkan memakai sutera,
sebagaimana itu diharamkan bagi kaum muslimin.
Jadi, masyarakat Aceh
sangat diharamkan untuk berdagang warung nasi kepada kaum kafir bahkan kepada
kaum muslimin sekalipun. Landasan yang termasuk dalam kewenangan Lembaga Wilayatul
Hisbah harus kita jalankan bukan untuk dihindarkan karena Bulan Ramadhan
merupakan Syiar Islam.
Disaat itulah, kaum muslim sedunia menjalankan puasa
karena puasa yakni bagian dari mengagungkan Ramadhan sehingga orang yang tidak
berpuasa, tidak dizinkan untuk makan dan minum secara terang-terangan didepan
umum bahkan disaksikan oleh masyarakat lainnya. Apa yang telah kita sadari
dengan tindakan semacam itu dapat dianggap sebagai manusia yang tidak
meninggikan Kehormatan Bulan Ramadhan.
(Alumnus Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Bahasa Inggris IAIN Zawiyah Cot
Kala Langsa dan Salah satu Owner Warung Nasi di Kota Langsa)
0 komentar:
Post a Comment