PILKADA DAN POLITIK UANG (JUGA)

Rate this posting:
{[['']]}

AtjehUpdate.com, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) politik uangadalah perilaku suap atau sogok.Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI),Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, politik uang adalah upaya mempengaruhi massa pemilu dengan menawarkan imbalan materi. Bila kasus politik uang terbukti maka pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana penyuapan.

Politik uang sangat berpotensi mempengaruhi massa karena massa, yang mayoritas berlatar belakang ekonomi lemah, berkepentingan pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti pakaian, makanan, tempat tinggal, dan seterusnya. Sebagai imbalannya, rakyat akan memberikan hak suaranya dengantujuan pilihan yang telah ditentukan oleh si pemilik kepentingan.Maka lahirlah praktekjual beli suara dalam pada proses politik.

Politik uang dapat mengaburkan nilai dari demokrasi,karena kedaulatan riil tersebut (suara rakyat) dapat dibeli dengan murah. Konsep demokrasi ini terdapat dalam pasal 1 (ayat 2) UUD ’45 yang menyebutkan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.Bagi John Austin, kedaulatan adalah kekusasaan tertinggi, absolut dan tidak ada instansi lain yang dapat mengontrolnya. Karena itu kemeriahan politik uang diyakini dapat menurunkan nilai dari kekuasaan tertinggi tersebut dimana kontrol suara rakyat berada pada sebagian elit-elit berduit.

Sedikit flashback, data pelanggaran pemilu 2014 yang dirilis oleh Jaringan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Aceh (JPA) mengungkapkan adanya banyak kecurangan yang didominasi oleh kategori pelanggaran berupa intimidasi dan politik uang. Pelanggaran tersebut terjadi di hampir seluruh Aceh. Khusus untuk kategori politik uang, pelanggaran terjadi tidak hanya di kalangan calon anggota legislatif (caleg) kabupaten/kota, tetapi juga di kalangan calegpropinsi, dan bahkan caleg nasional (DPR-RI). Modus operandinyadiantaranya berbentuk pembagian cash dari rumah ke rumah atau cash yang diselipkan dalam paket bantuan sembako. Guna memuluskan agenda, pembagian ini dilakukan oleh para TimSes.

Ternyata politik uang ini tidak hanya kita temukan pada di Indonesia saja. Praktek ini juga marak terjadi dalam sistem politik di beberapa negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Thailand dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
Dana untuk politik uang biasanya diperoleh dari dua sumber yaitu dana pribadi si kandidat dan dana yang bersumber dari pihak ketiga (sponsor).Sudah pasti penggunaan dana pribadi akan menciptakan politik balik modal. Artinya praktik politik uang akan membuka ruang korupsi yang saling tali-temali. Sementara itu ada juga dan yang berasal dari sponsor yang berkepentingan. Di Indonesia, hampir 60 persen sumber politik uang adalah pihak sponsor, biasanya pebisnis. Kondisi ini akan berimplikasi serius dimanakebijakan pemerintah terpilih akan mengutamakan kepentingan pengusaha yang menjadi sponsornya.

Akan halnya masyarakat, keterlibatan mereka dalam politik uang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, kemiskinan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa angka kemiskinan di Aceh cukup tinggi. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan akses pada layanan kesehatan. Orang miskin akan bersikap permissive pada penawaran dana-dana politis seperti yang kita bahas diatas.

Faktor lainnya adalah rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik. Tidak semua orang mengetahui apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang timbulkan dari politik. Itu semuanya disebabkan karena tidak adanya pembelajaran politik disekolah-sekolah, atau masyarakat sendiri yang acuh tak acuh terhadap dinamika politik di Indonesia.

Faktor lainnya lagi adalah kebudayaan dan kebiasaan. Seperti yang kita tahu bagi sebagian masyarakat moneypoliticdipersepsikan sebagai rezeki yang tidak boleh ditolak, walau mereka juga sadar untuk bahwa menerima uang tersebut tidak linear dengan pilihan politik di bilik suara.

Sungguh politik uang dapat menyebabkan runtuhnya nilai demokrasi yang sudah kita bangun sejak lama. Namun delapan tahun masa membangun demokrasi tentu belum mampu mendewasakan pemikiran masyarakat yang masih terjebak pada nilai-nilai pragmatisme. Karena itu perlu adanya penegakan hukum yang tegas dan konsisten di Indonesia. Hukum yang berlaku janganlahbersifat tajam kebawah dan tumpul ke atas.[Red]

By. Asih Mahyuni (Mahasiswi Ilmu Politik, FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)
Share on Google Plus

About update atjeh

Atjehupdate.com - Media Tegas Berimbang

0 komentar:

Post a Comment