AtjehUpdate.com, Persoalan hubungan agama dan negara itu
bukan persoalan sederhana yang bisa diungkapkan dalam satu dua kalimat seperti
dalam pidato Presiden Jokowi di Barus, Sibolga, Sumatera Utara minggu akhir
Maret yang lalu, karena hal itu dengan mudah dapat menimbulkan kesalah-pahaman.
Dalam sejarah pemikiran
politik di tanah air, debat intelektual tentang hubungan agama dengan negara
pernah dilakukan antara Sukarno dan Mohammad Natsir, sebelum kita merdeka.
Debat mereka berkisar Sekularisme di Turki dan Kitab Al Islam wa Ushulul Hukm
karya Ali Abdurraziq, seorang pemikir Islam dari Mesir di zaman itu.
Debat hubungan agama
dengan negara menjadi topik hangat dalam sidang2 BPUPKI ketika the founding
fathers merumuskan falsafah bernegara kita, yang berujung dengan kompromi, baik
melalui Piagam Jakarta 22 Juni maupun kompromi tanggal 18 Agustus 1945 yang
melahirkan kesepakatan Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara kita.
Debat kembali berulang
dalam sidang Konstituante yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
sekali lagi berupaya mencari jalan tengah, jalan kompromi yang dapat diterima
oleh semua golongan. Dekrit Kembali ke UUD 45 akhirnya diterima secara aklamasi
oleh DPR hasil Pemilu 1955, termasuk oleh Fraksi Partai Masyumi yang
menerimanya sebagai "sebuah kenyataan" meski di Konstituante partai
itu memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Dengan diterimanya
Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara kita, maka Negara RI adalah jalan
tengah antara Negara Islam dan Negara Sekular. Indonesia tidak merdeka menjadi
sebuah Negara berdasarkan Islam dan juga tidak berdasarkan Sekularisme yang seperti
dikatakan Prof Soepomo dalam sidang BPUPKI yani "negara yang memisahkan
urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan". Negara berasaskan falsafah
Pancasila adalah kompromi yang dapat menyatukan antara pendukung Islam dan
pendukung Sekularisme.
Jalan tengah yang bersifat
kompromistis ini tidak perlu diutak-atik lagi dengan ajakan "pemisahan
politik dengan agama" oleh Presiden Jokowi. Apalagi, ajakan itu
diungkapkan tanpa memahami dengan sungguh2 latar belakang historisnya dan
implikasi2 politiknya yang bisa mendorong kembalinya debat filosofis tentang
landasan bernegara kita. Dalam konteks kita membangun bangsa dan negara dewasa
jnj, ajakan seperti itu lebih banyak membawa mudharat daripada membawa manfaat.
Dalam pidato Sukarno
tanggal 1 Juni 1945, Ketuhanan ditempatkan dalam urutan kelima sesudah empat
sila yang lain. Sila Ketuhanan itu malah dapat diperas menjadi ekasila, yakni
Gotong Royong. Dalam kompromi tanggal 22 Juni dan 18 Agustus 1945, sila
Ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama, yang menandai bahwa Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah fondasi utama dalam kita membangun bangsa dan negara.
Dalam konteks historis
seperti itu, secara filosofis mustahil kita akan memisahkan agama dari negara,
dan memisahkan agama dari politik. Karena itu, saya dapat mengatakan bahwa
ajakan Presiden Jokowi itu bersifat a-historis, atau tidak punya pijakan
sejarah samasekali. Para pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin,
H Agus Salim, KH Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo semua berpendapat
seperti.
Di Eropa pada zaman
Renesans memang ada polemik pemisahan antara gereja dengan negara (scheiding
van kerk en staat/separation of church and state), tapi bukan pemisahan agama
dengan negara. Institusi dan kepemimpinan Gereja Katolik dengan institusi dan kepemimpinan negara, memang sangat
mungkin dipisahkan, tetapi pemisahan agama dengan politik adalah sesuatu yg
sukar untuk dilakukan.
Dr Notohamidjojo, seorang
pemimpin Partai Kristen Indonesia di masa lalu, menulis dalam bukunya
"Iman Kristen dan Politik" yang mengatakan bahwa tidaklah mungkin
agama Kristen dipisahkan dengan politik. Pof Zainal Abidin Ahmad, seorag tokoh
Masyumi menulis dalam bukunya "Membentuk Negara Islam". Dalam bukunya
itu Prof Zainal mengatakan "barangsiapa bisa memisahkan gula dari manisnya,
maka bisalah dia memisahkan Islam dari politik".
Ajaran Kristen, kata Dr
Notohamidjojo, ada di dalam otak dan hati pemeluk Kristen, dan keyakinan itu
sedikit banyaknya akan mempengaruhi sikap dan prilaku politik tiap pemeluk
Kristen. Begitu juga dengan agama Islam. Hanya orang yang otak dan hatinya
sekuler saja, atau menganggap agama itu perkara sampingan saja, yang bisa
memisahkan agama dengan politik. Selama seseorang itu sungguh2 beriman dengan
ajaran agamanya, maka mustahil baginya dapat memisahkan agama dengan politik.
Dalam membangun bangsa dan
negara kita yang masih banyak ditandai dengan prilaku korup para pemimpin dan
politisinya, maka memperkuat etik
keagamaan dalam berpolitik, justru menjadi sangat penting. Saya ingat ucapan
filsuf Jerman Immanuel Kant yg mengatakan bahwa barangsiapa mencari sistem
moral yang paling kukuh, maka dia tidak akan mendapatkannya melainkan dalam
ajaran agama. Saya berkeyakinan pandangan Immanuel Kant inj sejalan dengan falsafah
negara kita Pancasila. Demikian tanggapan saya.[Red]
By. Yusril Ihza Mahendra
Ketua Umum Partai Bulan
Bintang
Tokyo, 29 Maret 2017
0 komentar:
Post a Comment